Rabu 10 Feb 2021 20:47 WIB

Demokrat Ingin Pilkada 2022 dan 2023, PDIP Tolak UU Direvisi

Keserentakan pada Pemilu 2019 harus menjadi bahan evaluasi.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani
Polisi berjaga saat Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Kota Surabaya 2020 di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 46 Kelurahan Kedurus, Kecamatan Karang Pilang, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/12/2020). PSU dilakukan karena seorang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) memberikan nomer ke sejumlah surat suara saat pemungutan suara Pilkada Kota Surabaya 2020 pada 9 Desember 2020 lalu. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Didik Suhartono
Polisi berjaga saat Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Kota Surabaya 2020 di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 46 Kelurahan Kedurus, Kecamatan Karang Pilang, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/12/2020). PSU dilakukan karena seorang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) memberikan nomer ke sejumlah surat suara saat pemungutan suara Pilkada Kota Surabaya 2020 pada 9 Desember 2020 lalu. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Demokrat DPR tetap mendorong adanya pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Tujuannya, agar pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dapat digelar pada 2022 dan 2023.

Dalam rapat paripurna, anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron mengatakan bahwa keserentakan pada Pemilu 2019 harus menjadi bahan evaluasi. Pasalnya, keserentakan tersebut membuat penyelenggara kewalahan, bahkan menimbulkan korban jiwa.

Baca Juga

"Berdasarkan aspirasi yang masuk kepada Partai Demokrat dan sejalan dengan dengan pemikiran Partai Demokrat, kami mendukung untuk pelaksanaan Pilkada 2022 dan 2023," ujar Herman menginterpasi rapat paripurna, Rabu (10/2).

Jika Pilkada digelar pada 2024, ia mengkhawatirkan banyaknya pelaksana tugas (Plt) kepala daerah yang ditunjuk oleh pemerintah. Kekosongan pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat ini dinilainya akan menimbulkan permasalahan nantinya.

"Oleh karenanya Fraksi Partai Demokrat mengajak kepada kita semua untuk menampung aspirasi dan membahasnya, tidak serta merta kemudian ada inkonsistensi di dalam pembahasan rancangan Undang-Undang Pemilu," ujar Herman.

Di samping itu, keserentakan Pilkada dengan pemilihan presiden dan legislatif dikhawatirkannya membuat beban anggaran menjadi semakin besar. Jika dipaksakan, pihaknya menakutkan adanya ketidaksemimbangan anggaran pada 2024 nanti.

"Kami mengajak seluruh fraksi, ayo kita dudukkan kembali, kita bicarakan untung rugi. Kita bicarakan persoalan logis atau tidak logis, apakah memang lebih menguntungkan 2024 atau tetapkan pada mengundurkan waktu," ujar Herman.

Menanggapi interupsi Herman, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, pihaknya saat ini belum menetapkan program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 dalam rapat paripurna hari ini. Alasannya, karena dinamika yang timbul dari revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Persoalan masalah RUU Pemilu ini jadi perhatian kita semua di DPR, memang karena hal itulah maka penentuan Prolegnas Prioritas memang belum kita tetapkan," ujar Dasco yang menjadi pemimpin dalam rapat paripurna.

Ia mengatakan, DPR masih melakukan komunikasi dengan fraksi-fraksi yang ada di DPR terkait RUU Pemilu. Pihaknya juga masih menyerap aspirasi masyarakat terkait undang-undang tersebut.

"Kita masih saling berkomunikasi antarparpol di DPR. Oleh karena itu untuk ketegasan apakah dilanjut atau tidak, pada masa sidang depan kita akan bicarakan lebih lanjut," ujar Dasco.

Adapun, anggota Fraksi PDIP DPR Aria Bima mengatakan, tidak setuju jika adanya perubahan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang akan masuk dalam revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Menurutnya, UU Pilkada sebaiknya direvisi setelah pelaksanaannya pada 2024 nanti.

"Saya sangat berharap undang-undang ini nanti kita ubah kaalu Pilkada 2024 mengalami berbagai kendala. Walau mungkin kehendak teman-teman melihat ada kekurangan-kekurangan," ujar Aria dalam rapat paripurna, Rabu (10/2).

UU Pilkada yang ada saat ini, kata Aria, merupakan bagian dari konsolidasi demokrasi di Indonesia agar semakin baik. Untuk itu semua pihak dimintanya untuk konsekuens dan berkomitmen dengan regulasi yang ada.

"Kita jangan melecehkan hasil yang kita buat sendiri. Karena apa, undang-undang ini kita buat, kita paripurnakan, kita serahkan kepada pemerintah untuk dilaksanakan," ujar Aria.

Diketahui, Komisi II DPR sepakat untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sebab, ada dinamika yang berkembang di balik rencana tersebut dan situasi pandemi Covid-19 yang membutuhkan fokus dari semua pihak.

Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, revisi UU Pemilu merupakan usulan dari pihaknya. Di samping itu tidak ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR terkait hal tersebut, sehingga pihaknya memutuskan untuk tak melanjutkan pembahasannya.

"Kami sepakat umtuk tidak melanjutkan pembahasan ini dan mekanisme selanjutnya akan kami serahkan kepada mekanisme di DPR. Apakah tadi pertanyaannya mau didrop atau tidak itu kewenangan instansi lain," ujar Doli di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (10/2).

Selanjutnya, Komisi II akan menyampaikan kesepakatan tersebut kepada pimpinan DPR. Agar pimpinan DPR dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus) dapat memutuskan apakah RUU Pemilu akan dikeluarkan atau tidak dari program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.

 

photo
Sejumlah kegiatan dilarang pada masa kampanye Pilkada 2020 terkait pandemi Covid-19. - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement