Jumat 19 Feb 2021 23:30 WIB

Sidang Nurhadi, Jaksa Optimistitis Mampu Menyakinkan Hakim

Kuasa hukum yakin Nurhadi tak terbukti menerima suap dan gratifikasi.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ilham Tirta
Terdakwa kasus suap dan gratifikasi penanganan perkara di Mahkamah Agung, Nurhadi.
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Terdakwa kasus suap dan gratifikasi penanganan perkara di Mahkamah Agung, Nurhadi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) optimistis dengan bukti yang didapat dalam persidangan perkara dugaan suap dan gratifikasi pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA). Penuntut umum akan menguraikan secara detil unsur perbuatan terdakwa Nurhadi dan Rezky Herbiyono dalam surat tuntutan. 

"Kami selaku Tim JPU sangat yakin dan optimis untuk membuktikan semua uraian dakwaan yang kami dakwakan pada kedua terdakwa (Nurhadi dan Rezky)," kata Jaksa KPK Takdir Suhan kepada wartawan, Jumat (17/2). 

 

Ia memastikan semua alat bukti yang penuntut umum hadirkan dalam persidangan sangat cukup menyakinkan Majelis Hakim. "Nantinya dalam surat tuntutan, tim JPU akan secara detail menguraikan semua unsur perbuatan para terdakwa sebagaimana surat dakwaan," ujar Takdir. 

 

Sementara, Kuasa Hukum terdakwa  Nurhadi, Muhammad Rudjito meyakini kliennya tidak terbukti menerima suap ataupun gratifikasi. Rudjito mengungkapkan, menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono pernah menerima uang dari Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (PT MIT), Hiendra Soenjoto. 

 

Uang yang diterima tersebut terkait investasi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH). Rudjito menjelaskan, proyek PLTMH milik Rezky Herbiyono memang benar adanya. Ia menegaskan, proyek itu bukan fiktif karena Hiendra pernah tertarik untuk investasi dalam proyek milik menantu Nurhadi.

 

"Memang benar proyek PLTMH itu ada. Tadi sudah saya tunjukan akte pengalihan seperti apa, kemudian juga ada foto bendungan, dimana dia (Hiendra Soenjoto) pernah berkunjung, dan foto Rezky pernah ke Austria, dan dibenarkan yang bersangkutan (Hiendra itu terkait PLTMH," kata Rudjito di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (19/2).

 

Menurut Rudjito, Hiendra pernah mengirimkan  uang ke Rezky Herbiyono untuk kerja sama terkait proyek PLTMH. Ia mengklaim, kliennya dan Hiendra tidak pernah memiliki kerja sama pengurusan perkara sebagaimana dakwaan jaksa. 

 

"Jadi PLTMH bukan fiktif, tapi itu real dan benar ada. Dan uang-uang yang disetorkan (Hiendra) ke Rezky terkait investasi PLTMH yang akan dibangun. Tidak ada kaitannya soal suap untuk pengurusan perkara," kata dia. 

 

Selain itu, Rudjito juga membenarkan keterangan Hiendra yang mengaku memiliki proyek PLTMH dengan Rezky senilai Rp 45 miliar. "Keterangan saksi Hiendra hari ini beliau pada dasarnya menerangkan apa yang dikatakan di dalam dakwaan itu ada pengurusan perkara itu enggak benar," katanya. 

 

Pada Kamis (18/2) kemarin, Jaksa KPK menghadirkan Hiendra Soenjoto sebagai saksi untuk terdakwa Nurhadi dan Rezky. Awalnya, Jaksa menanyakan awal perkenalan Hiendra dengan Rezky. 

 

"Bagaimana awal kenal dengan terdakwa dua (Rezky), " tanya Jaksa KPK Wawan Yunarwanto. "Kami berkenalan pada 2011 di acara pameran properti," ujar Hiendra. 

 

Perkenalan itu pun berlanjut hingga akhirnya berujung bisnis dan sempat ditawari bergabung dengan Rezky di proyek PLTMH pada 2014. "Jadi Saudara Rezky ini menyampaikan ke saya, bahwa dia telah ikut serta dalam proyek PLTMH di Jatim. Dia sampaikan sudah keluar banyak uang, dan partnernya saat itu enggak mau melanjutkan, beliau cari investor baru," terang Hiendra. 

 

Hiendra mengatakan, biaya pembangunan proyek PLTMH senilai Rp 45 miliar. Pemegang saham PLTMH disebut Hiendra hanya Rezky dan anak Nurhadi, Rizqi Aulia Rachmi. 

 

Hiendra mengaku dalam proyek ini sudah menyetor ke Rezky sebesar Rp 35,7 miliar. Namun, kata Hiendra, proyek itu tidak berlanjut sehingga Hiendra meminta pengembalian uang. 

 

Nurhadi dan menantunya didakwa menerima suap Rp 45.726.955.000 dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (PT MIT) Hiendra Soenjoto. Tak hanya suap, keduanya juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp 37.287.000.000 dari sejumlah pihak yang berperkara di lingkungan Pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, hingga peninjauan kembali.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement