Jumat 26 Feb 2021 06:13 WIB

KPK Dipertanyakan Soal Dakwaan Kasus Bansos

Nama Ihsan Yunus hilang dalam dakwaan KPK untuk dua penyuap kasus bansos.

Rep: Dian Fath Risalah, Rizkyan Adiyudha/ Red: Ilham Tirta
Tersangka mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara tiba untuk menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (29/1/2021). Juliari Batubara diperiksa terkait kasus dugaan suap pengadaan Bantuan Sosial (bansos) penanganan COVID-19.
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Tersangka mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara tiba untuk menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (29/1/2021). Juliari Batubara diperiksa terkait kasus dugaan suap pengadaan Bantuan Sosial (bansos) penanganan COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pihak menaruh curiga kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran hilangnya nama politisi PDI Perjuangan Ihsan Yunus dalam dakwaan dua pelaku dalam perkara suap bantuan sosial Covid-19, Rabu (24/2). Sebab, nama Ihsan Yunus muncul beberapa kali dalam rekonstruksi kasus yang melibatkan mantan menteri sosial dari PDIP, Jualiari Petter Batubara.

"Hal ini janggal. Sebab dalam rekonstruksi yang dilakukan oleh KPK, nama tersebut sudah muncul," kata Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, Kamis (25/2).

Kurnia mengatakan, dalam rekonstruksi perkara, tersangka Harry Van Sidabukke menyerahkan uang dengan total Rp 6,7 miliar dan dua sepeda Brompton kepada Agustri Yogasmara alias Yogas yang merupakan operator Ihsan Yunus, saat ini anggota Komisi II DPR. Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, kata dia, juga tidak menjelaskan perihal siapa Yogas yang ada dalam surat dakwaan tersebut.

Dia mempertanyakan KPK yang seolah menganggap uang miliaran rupiah dan sejumlah barang yang diberikan Harry kepada seorang perantara penyelenggara negara itu tidak dianggap perbuatan pidana. ICW mengingatkan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP menyebutkan surat dakwaan mesti ditulis secara cermat, jelas, dan lengkap.

ICW juga mengingatkan agar jajaran pimpinan, deputi, maupun direktur KPK tidak melakukan tindakan melanggar hukum. "Misalnya melindungi atau menghalang-halangi kerja penyidik untuk membongkar tuntas perkara ini," kata Kurnia.

JPU KPK mendakwa penyuap Juliari, Harry Van Siddanbuke dan Ardian Iskandar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (24/2). Dalam dakwaan keduanya, JPU memaparkan peran Yogas, tanpa menyebutnya sebagai operator Ihsan Yunus.

Atas arahan Juliari, pejabat pembuat komitmen Kemensos,  Matheus Joko Santoso mengenalkan Harry kepada Yogas. Yogas disebut sebagai pemilik kuota paket bansos sembako yang akan dikerjakan Harry.

Yogas dan Harry kembali bertemu di kantor Kemensos guna membahas fee proyek tersebut. Yogas dan Harry kemudian sepakat dengan jumlah fee bansos Covid.

Nama Yogas kembali muncul dalam tahap 7 penyaluran bansos pada Juli 2020. Saat itu, ada pertemuan di ruang kerja Mensos Juliari guna membahas pembagian kuota sebesar 1,9 juta paket. Tidak disebut sama sekali nama Ihsan Yunus dalam dakwaan tersebut.

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri tidak menjelaskan detail alasan hilangnya nama Ihsan Yunus. Ia hanya mengklaim surat dakwaan dibuat berdasarkan hasil proses penyidikan yang akan dikofirmasi dalam persidangan.  "Kami mengajak masyarakat mengawasi setiap prosesnya," kata dia, kemarin.

Sejumlah kader PDIP diperiksa

Ali mengatakan, KPK pada Kamis juga memeriksa enam orang dalam kasus bansos, termasuk Ihsan Yunus. "Dia diperiksa sebagai saksi untuk tersangka MJS (Matheus Joko Santoso) terkait suap pengadaan bansos untuk Jabodetabek tahun 2020," kata dia.

Saksi lain adalah Ketua DPC PDIP Kabupaten Semarang Ngesti Nugraha dan anggota DPRD Kabupaten Kendal dari fraksi PDIP, Munawir. Tiga orang lainnya adalah anggota tim pengadaan barang atau jasa bansos, Rizki Maulana dan Firmansyah dan Direktur PT Asri Citra Pratama, Mutho Kuncoro.

Hingga Kamis malam, belum ada kabar apa hasil pemeriksaan mereka. Namun, pada Rabu (24/2), KPK melakukan penggeledahan rumah Ihsan Yunus. Ali mengaku tidak menemukan satu dokumen pun terkait perkara.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengaku tak kaget dengan hasil KPK tersebut. Ia menilai KPK terlambat. “Lah geledahnya sudah sebulan dari kejadian, emang mau dapat apa? agak sulit untuk dapat barang bukti, diduga sudah dibersihin sebelumnya. Sudah sangat terlambat," kata Boyamin.

Dia mengatakan, lambatnya KPK itu menjadi salah satu alasan MAKI mengajukan praperadilan melawan KPK. Pekan lalu, MAKI menuntut KPK ke pengadilan karena tidak melakukan 20 izin penggeledahan yang sudah diterbitkan dewan pengawas KPK.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement