Senin 03 May 2021 20:10 WIB

Keluarga Pasien Covid-19 di Tasikmalaya Tuntut Rumah Sakit

Pihak RS dianggap telah melakukan dugaan pelanggaran hak konsumen.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Andri Saubani
Pihak RS Jasa Kartini Kota Tasikmalaya menggelar konferensi pers terkait adanya dugaan pelanggaran perlindungan konsumen, Senin (3/5).
Foto: Republika/Bayu Adji P
Pihak RS Jasa Kartini Kota Tasikmalaya menggelar konferensi pers terkait adanya dugaan pelanggaran perlindungan konsumen, Senin (3/5).

REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Keluarga salah seorang pasien Covid-19 di Kabupaten Tasikmalaya malaporkan Rumah Sakit (RS) Jasa Kartini Kota Tasikmalaya ke Polres Tasikmalaya Kota, Senin (3/5). Pihak RS dianggap telah melakukan dugaan pelanggaran hak konsumen.

Laporan itu dibuat atas nama Demi Hamzah, salah seorang anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya. Alasannya, ibu kandung pelapor yang berinisial UR dinyatakan terkonfirmasi positif Covid-19 dan harus menjalani perawatan di RS Jasa Kartini hingga meninggal dunia.

Baca Juga

"Sebagai kuasa hukum, saya melaporkan kasus dugaan malpraltik dan perlindungan konssumen yang dilakukan oleh RS Jasa Kartini," kata kuasa hukum pelapor, Andi Ibdu Hadi, Senin.

Ia menjelaskan, berdasarkan keterangan kliennya, kasus itu bermula pada 6 April, ketika saudari UR merasa gejala demam. Setelah diketahui anak-anaknya, ada kekhawatiran yang bersangkutan terpapar Covid-19, sehingga melapor ke Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Kabupaten Tasikmalaya.

Satgas Penanganan Covid-19 Kabupaten Tasikmalaya kemudian mendatangi rumah pasien di Kecamatan Cibalong. Setelahnya, dilakukan pengetesan Covid-19 kepada pasian dan sampelnya diperiksa di Labkesda Kabupaten Tasikmalaya.

"Hasilnya itu negatif Covid-19," kata Andi.

Setelah dikembalikan ke rumah, ia melanjutnkan, keluarga pasien menerima saran dari kerabat untuk dibawa ke ahli penyakit dalam. Ahlasil, pasien dibawa ke sebuah klinik kesehatan. Oleh dokter di klinik tersebut, pasien dirujuk ke RS Jasa Kartini.

Andi mengatakan, sesampainya di RS Jasa Kartini, pasien langsung ditempatkan di ruang isolasi IGD. "Keluarga heran karena dia negatif Covid-19. Namun perawat menyatakan itu berdasarkan arahan dokter berinisial R, yang juga merujuk pasien ke RS Jasa Kartini," kata dia.

Andi menjelaskan, pada 7 April, pasien dirawat di ruang khusus pasien Covid-19. Keluarga kemudian diinformasikan bahwa pasien terkonfirmasi positif Covid-19. Namun, rumah sakit tak pernah memberikan informasi itu secara resmi. Keluarga hanya diberi tahu secara lisan.

Ia menambahkan, pasien kembali menjalani tes pada 11 April. Hasilnya masih dinyatakan terkonformasi positif Covid-19.

"Saat itu juga, keliarha disarankan untuk membeli obat merek tertentu oleh dr R. Harga obatnya itu Rp 12 juta. Itu obat yang tidak direkomendasikan Kemenkes," kata Andi.

Meski tak yakin, menurut kuasa hukum, pihak keluarga akhirnya menyetujui untuk membeli obat tersebut. Namun, obat itu tidak ada.

Akhirnya pada 14 April, pasien meninggal dunia. Baru sepekan setelah meninggal, pihak keluarga diberi infornasi lengkap diagnosis pasien.

"Termasuk di dalamnya mengenai Covid-19. Pasien positif pada 7 dan 11 April. Namun, RS Jasa Kartini sebenarnya tak memiliki kewenangan mengeluarkan hasil itu," kata dia.

Menurut Andi, dalam printout hasil tes Covid-19 tersebut, pasien sebenarnya dapat menjalani isolasi mandiri. Namun, dokter malah merawat pasien di RS. Kuasa hukum menduga ada kapitalisasi yang dilakukan rumah sakit.

"Kita serahkan masalah ini ke aparat. Kita khawatir kejadian ini bukan hanya terjadi kepada klien kami tapi juga masyarakat lainnya. Semoga proses hukum ini bisa menjadi ikhtiar agar pelayanan rumah sakit dapat lebih baik," ujar dia.

Sementara itu, Wakil Direktur Pelayanam RS Jasa Kartini, Faid Husnan menjelaskan, pasien tersebut memang didiagnosis terpapar Covid-19. Hal itu terlihat dari gejala yang dialami pasien. Karena itu, pihak RS melakukan pengetesan ulang, yang hasilnya menyatakan pasien terkonfirmasi positif Covid-19.

"Perbedaan hasil memang bisa terjadi secara medis. Pertama, kepentingan dicek ulang, sebab dalam pedoman revisi terkahir, disarankan dua kali PCR. Ketika hasil kedua positif, harus tetap dianggap Covid-19," kata dia.

Faid mengatakan, hasil pemeriksaan berbeda sangat mungkin terjadi karena alat yang digunakan spesifikasinya berbeda. Ia menegaskan, pihak RS tidak melakukan rekayasa kasus Covid-19. Terkait harga obat, menurut dia, pihak RS juga tak pernah menyarankan pasien membeli obat tersebut.

"Alat yang kita gunakan juga sudah memiliki rekokemendasi dari instansi terkait. Yang kita lakukan sudah sesuai dengan SOP," ujar dia.

Sementara itu, Wakil Direktur Umum dan Keuangan RS Jasa Kartini, Gingin Ginanjar mengatakan, tak ada sama sekali nama obat tersebut dalam tagihan kepada pasien. Ia menambahkan, tagihan biaya juga tak dilakukan kepada pasien, sebab biaya penanganan pasien ditanggung oleh pemerintah.

"Tidak ada yang kami tagihkan kepada pasien," kata dia.

Ia berharap, masalah itu dapat diselesaikan secara kekeluargaan dan tak perlu menempuh jalur hukum. Namun, pihak RS siap melakukan langkah hukum jika memang kasus tetap berlanjut.

Gingin juga bergarap, masyarakat umum dapat memahami prosedur penanganan pasien Covid-19. Di sisi lain, pihaknya juga akan terus melakukan perbaikan dan evaluasi terkait pelayanan di RS.

"Kami juga akan terus memperbaiki diri dan evaluasi ini agar kejadian serupa tak terulang. Dalam pemberian infornasi, kita juga akan perbaiki," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement