Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hamdani

Yuk Kepoin Keseharian Santri di Dayah, Ngapain Aja?

Eduaksi | Saturday, 23 Oct 2021, 20:08 WIB
Santri di Dayah Mudi Mesra, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, Aceh (Foto Dayah Mudi Mesra)

Berdasarkan Undang-undang Pendidikan Nasional, pendidikan di Indonesia tidak ada lagi dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama berbasis pesantren. Kedua model pendidikan tersebut diakui keberadaannya di tanah air.

Sehingga pesantren-pesantren di seluruh pelosok nusantara bisa menyelenggarakan pendidikan tanpa perlu merasa kuatir atau takut, sepanjang tidak menyimpang dengan agama dan konstitusi negara.

Pendidikan berbasis pesantren atau di beberapa tempat disebut juga dayah, kini mulai sangat diminati oleh masyarakat Indonesia. Tak jarang para orang tua menyekolahkan anak-anak mereka di pesantren atau dayah.

Jumlah pesantren atau dayah pun sangat banyak, meskipun saya belum memiliki data rill, tetapi saya memperkirakan jumlah dayah atau pesantren di Indonesia mencapai ratusan ribu unit.

Menempuh pendidikan di dayah memang tidak sama dengan bersekolah di pendidikan umum. Selain dari sisi kurikulumnya, juga sistem kedua jenis pendidikan tersebut berbeda.

Biasanya sistem pendidikan di pesantren atau dayah menerapkan sistem boarding school. Adanya asrama bagi para santri (siswa dayah/pesantren) merupakan ciri khas dari sistem pesantren.

Masyarakat Indonesia biasanya menyebutnya dengan istilah 'mondok' atau tinggal di pondok pesantren. Seluruh santri baik laki-laki maupun perempuan disediakan tempat tinggal berupa bilik/kamar yang diatur sedemikian rupa.

Suasana belajar disini sangat identik dengan kebersamaan. Lingkungan pendidikan pun menyatu dengan sistim sosial para santri. Mereka hidup bersama, belajar bersama bahkan susah senang bersama. Ikatan emosional sesama santri sangat kuat. Solidaritas diantara mereka terbangun karena mereka sama-sama berjuang dalam meraih keberhasilan pendidikan mereka.

Sejak usia sekolah dasar

Pada umumnya para santri dibanyak pesantren dimulai sejak usia sekolah dasar atau berkisar 12 tahun. Kelompok ini memasuki tahun pertama pada pendidikan tsanawiyah di pesantren.

Para orang tua mengantar anak-anak mereka menjadi santri setelah lulus dari pendidikan dasar. Memang berat melepaskan anak-anak berusia SD untuk hidup sendiri secara mandiri diantara ratusan anak-anak seusianya yang lain yang memiliki karakter berbeda-beda.

Namun pada sebuah pesantren atau dayah yang memiliki sistem pendidikan yang baik, kekuatiran apapun yang dirasakan oleh orang tua dapat diatasi dengan baik.

Hal yang paling ditakuti oleh wali santri diantaranya, takut anak-anak mereka tidak terurus, mengalami kekerasan dan pelecehan, sakit, dan mengalami stres yang berlebihan.

Diantara yang saya sebutkan diatas memang kerap terjadi dan dialami oleh para santri. Anak-anak sering di bully oleh teman-teman mereka bahkan seniornya di pesantren.

Akan tetapi pada dayah atau pesantren yang menerapkan standar pendidikan dan pelayanan yang baku, hal seperti itu dapat dihindari. Para santri diperlakukan secara baik, dan dilayani segala kebutuhan mereka oleh para ustaz/ah yang ditugaskan oleh pimpinan pesantren.

Mengapa usia sekolah dasar?

Ternyata menurut sebagian besar para guru/ustaz di pesantren mengatakan pada usia tersebut anak-anak masih potensial untuk dididik menjadi santri yang berkualitas sesuai dengan minat dan bakatnya. Usia ini bagaikan anak tangga pertama menuju manusia paripurna dengan tuntunan agama.

Sehingga berhasil atau tidaknya seorang guru/ustaz mendidik dan membentuk karakter santri dimulai pada fase tersebut.

Namun disisi lain, menggembleng mereka yang masih anak-anak tentu membutuhkan kerja keras tersendiri. Termasuk pendekatan-pendekatan yang digunakan juga harus tepat untuk seusia mereka. Jika ini salah, maka resiko gagal sangat besar. Gagal artinya para santri tidak dapat dibawa pada arah dan kualitas yang diharapkan.

Hidup bersama

Budaya hidup di pesantren sangat identik dengan hidup bersama. Seperti telah saya jelaskan diatas, kebersamaan di pesantren sangat dominan. Indikasi ini bisa kita lihat ketika mereka beraktivitas, baik di dalam pesantren maupun diluar pesantren.

Kebiasaan seperti ini memang sengaja dibentuk oleh pesantren. Konsep berjamaah adalah bagaimana menciptakan kebersamaan. Sehingga apapun aktivitas di dayah adalah menjunjung tinggi kebersamaan.

Mari kita perhatikan saat mereka shalat lima waktu misalnya. Para guru selalu menekankan dan membimbing santri untuk melakukan shalat secara bersama-sama atau jamaah. Bahkan, jika didapati santri yang dengan sengaja mangkir dari shalat berjamaah, maka sanksi pasti menunggu. Hukumannya pun bukan hanya untuk satu orang namun semua santri.

Sikap berjamaah menjadi identitas para santri di pesantren manapun. Dampak positifnya adalah mereka selalu terbiasa untuk melakukan sebuah aktivitas atau pekerjaan secara bersama-sama atau team work.

Disiplin waktu

Harus kita akui bahwa membentuk mental disiplin bukan perkara mudah, termasuk saya sendiri pun belum mampu menerapkan disiplin dengan baik. Namun di pesantren, para guru dan ustaz berusaha menciptakan budaya hidup disiplin di kalangan para santri.

Cara hidup disiplin mulai ditanamkan sejak mereka mendaftar menjadi santri di sebuah pondok pesantren. Semua aktivitas diatur secara ketat dan terjadwal. Mulai dari urusan belajar, ibadah, bermain dan olah raga, bangun tidur, hingga aktivitas yang bersifat pribadi, misalnya menelpon orang tua, belanja kebutuhan pribadi, dll.

Apalagi ketika mereka sudah sah menjadi warga pondok, rasanya kemerdekaan hidup secara bebas tidak ada lagi. Yang ada hanyalah mereka seperti berada di sebuah camp pelatihan yang semuanya diatur oleh sang pelatih.

Waktu makan, mereka harus benar-benar menggunakan waktunya untuk makan, jika lalai maka jatah makan pun terlewatkan. Tidak ada istilah menunggu santri untuk mereka makan. Namun sebaliknya, santri harus makan tepat pada waktu yang telah diatur.

Begitu pula waktu bangun pagi. Tepat pukul 05.00 wib atau menjelang waktu subuh semua santri dibangunkan oleh ustaz/guru. Ada yang langsung menggunakan alarm atau bell dan ada juga yang diketuk pintu kamar setiap santri.

Setelah semua santri bangun, mereka segera siap-siap untuk melakukan shalat subuh berjamaah. Dan tidak boleh ada yang bolos atau coba-coba sembunyi. Pastinya para guru sudah menghafal setiap santri yang ada.

Lebih Mandiri
Hidup menjadi santri dan belajar di pesantren baik dayah modern maupun pesantren tradisional sebetulnya banyak manfaatnya. Bukan hanya dari segi ilmu agama yang bakal diperoleh. Tetapi ada keuntungan lainnya yaitu mendidik mereka hidup mandiri.

Dalam keseharian mereka selama di pondok, mereka ditempa untuk menjadi pribadi yang tangguh, tidak cengeng, dan mampu beradaptasi dengan lingkungan secara baik.

Para santri diarahkan untuk mampu menjadi orang yang dapat bertanggung jawab terutama pada dirinya sendiri dan orang lain. Sehingga mereka bisa hidup mandiri dan bertanggung jawab di kemudian hari.

Hidup mandiri bukan berarti tidak membutuhkan orang lain. Namun bagaimana mereka dapat membangun hubungan atau relasi yang baik antar sesama mereka sehingga satu sama lain dapat memperoleh manfaat secara pribadi, dan karena itu mendukung kehidupan pribadi mereka.

Misalnya bagaimana mereka diajarkan untuk mematuhi aturan di pesantren, menjaga barang-barang pribadi milik mereka, mencuci piring sehabis makan, mencuci pakaian yang kotor, membersihkan kamar, dan hal lainnya yang membuat mereka menyadari bahwa kemandirian itu sangat penting.

Teman adalah segala-galanya

Meskipun di pesantren terdapat banyak guru atau ustaz. Keberadaan teman sesama santri sangat tidak boleh diabaikan sebagai orang terdekat dalam kehidupan santri. Kenapa demikian? Karena peran teman dapat menggantikan orang tua mana kala seorang santri sakit atau butuh yang menjaganya saat sakit.

Teman mereka sendirilah yang membantu mengurus mengambil nasi di dapur umum atau ruang makan, mengingatkan untuk minum obat, dan merawat selama di dayah atau pesantren. Tentu jika itu sakitnya tidak parah atau berat. Kalau sakitnya parah berarti ya dijemput keluarganya.

Pengalaman saya beberapa hari di pesantren, saya melihat memang teman sekamar atau satu sal sangat berarti satu sama lain. Jadi seperti mereka harus membangun kesetiaan dalam hubungan mereka. Memang faktanya seperti itu.

Jadi tidak heran ketika mereka sudah berteman demikian akrab, justru bisa menjadi keluarga kedua mereka setelah orang tua dan adik-adik, atau kakak-kakak mereka.

Demikianlah beberapa gambaran kehidupan di pesantren menjadi santri. Memang penuh tantangan sekaligus memiliki tradisi tersendiri. Tentu saja, apa yang saya ceritakan diatas hanya beberapa saja atau sekelumit dari banyak cerita lainnya yang lebih menarik dalam kehidupan para santri.

Ini adalah pengalaman pribadi yang sengaja melihat secara lebih dekat bagaimana kehidupan para santri di sebuah pesantren di kawasan Aceh Besar.

Semoga ada manfaatnya bagi pembaca. (*)


Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image