Ahad 29 May 2022 00:32 WIB

Pengamat: Terjadi Resentralisasi Usai Penunjukan Penjabat Kepala Daerah

Sejak era Jokowi terjadi resentralisasi kekuasaan yang kini dikuasai pusat.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ilham Tirta
Arif Susanto (kiri)
Foto: Antara
Arif Susanto (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto menilai, penunjukan perwira TNI/Polri aktif menjadi penjabat (pj) kepala daerah merupakan bagian dari indikasi kemunduran demokrasi Indonesia. Menurut dia, sejak era kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) terjadi resentralisasi kekuasaan, yang semula kewenangan milik pemerintah daerah dan kini dikuasai pemerintah pusat.

"Sejak era Jokowi itu terjadi resentralisasi kekuasaan. Cukup banyak kewenangan yang mula-mula dimiliki daerah itu sekarang ditarik ke pusat. Yang cukup masif lewat Undang-Undang Cipta Kerja yang memangkas banyak sekali kewenangan yang mula-mula dimiliki daerah dan kini dikuasai oleh pemerintah pusat," ujar Arif dalam diskusi daring bertajuk Pro-Kontra Tentara Jadi PJ Kepala Daerah, Jumat (27/5/2022).

Padahal, kata dia, dulu pada era kepemimpinan Soeharto, yang paling banyak dikritik ialah pemusatan kekuasaan. Dari sini lah ide dari perwujudan otonomi daerah diterjemahkan secara lebih baik melalui penyelenggaraan pilkada langsung.

Namun, dia mengatakan, pengisian kekosongan jabatan kepala daerah akibat menyerentakan pilkada secara nasional pada 2024 semestinya bukan untuk jangka pendek dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi. Menurut Arif, penunjukan penjabat kepala daerah melewatkan satu asas penting bersama, prinsip kedaulatan rakyat, yaitu prinsip transparansi dan akuntabilitas.

 

"Tampak bahwa pemerintah pusat lewat penunjukan penjabat kepala daerah ini ingin melakukan resentralisasi kekuasaan," kata Arif.

Dia menyampaikan, para penjabat yang sudah dilantik pada Mei 2022 ini, tidak satu pun proses penunjukannya dilakukan secara terbuka. Menurut dia, pemerintah bisa saja melaksanakan uji kelayakan dan uji kepatutan terhadap kandidat-kandidat penjabat dengan melibatkan pihak yang berkepentingan langsung dengan pengelolaan pemerintahan di daerah.

Arif menegaskan, Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pemerintah membentuk peraturan pelaksana mengenai pengangkatan penjabat kepala daerah ialah untuk melaksanakan prinsip demokrasi tersebut. Namun, sampai saat ini pemerintah tak kunjung menerbitkan peraturan pelaksana dimaksud.

Pemerintah yang mengabaikan hal tersebut kemudian berakhir dengan pelanggaran peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang (UU) TNI, UU Polri, UU Aparatur Sipil Negara (ASN), dan UU Pilkada. Prinsip akuntabilitas pun tak tampak dalam proses pengangkatan penjabat kepala daerah.

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada), untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur dan wakilnya, bupati dan wakilnya, serta wali kota dan wakilnya yang berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, diangkat penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota sampai dengan terpilihnya kepala daerah melalui pilkada serentak nasional 2024. Untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya dan untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/wali kota diangkat penjabat bupati/wali kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement