Kamis 07 Jul 2022 06:46 WIB

Wamenkumham: RKUHP Larang Penghinaan Presiden, Bukan Kritik

Yang terkena tindak pidana adalah orang yang melakukan penghinaan, bukan kritik.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus Yulianto
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej (kiri).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, pasal yang berkaitan dengan penyerangan kehormatan terhadap presiden dan wakil presiden tetap ada dalam draf final revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP). Namun, dia menegaskan, yang terkena tindak pidana adalah orang yang melakukan penghinaan, bukan kritik.

"Jadi yang dilarang itu penghinaan, bukan kritik," ujar pria yang akrab disapa Eddy itu di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (6/7).

Dalam draf RKUHP yang diterima Republika, penyerangan terhadap kehormatan presiden dan wakil presiden berada dalam Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220. Dalam Pasal 218 Ayat 1 dijelaskan, setiap orang yang menyerang harkat dan martabat presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Namun, pemerintah menambahkan Ayat 2 dalam Pasal 218 yang menjelaskan, tidak merupakan penghinaan jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. Dalam Bab Penjelasan dijelaskan, yang dimaksud dengan "dilakukan dengan kepentingan umum" adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden atau wakil presiden.

 

Definisi kritik juga dimasukkan ke dalam bagian Penjelasan Pasal 218 Ayat 2. Terdapat tiga definisi dari kritik, pertama adalah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan presiden dan wakil presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut.

"Kritik bersifat konstruktif dan sedapatnya mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang objektif," tertulis dalam Bab Penjelasan Pasal 218 Ayat 2.

Selanjutnya, kritik mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan kebijakan atau tindakan presiden dan wakil presiden lainnya. Kritik juga dapat berupa membuka kesalahan atau kekurangan yang terlihat pada presiden dan wakil presiden atau menganjurkan pergantian presiden dan wakil presiden dengan cara yang konstitusional.

Terakhir, kritik tidak dilakukan dengan niat jahat untuk merendahkan atau menyerang harkat dan martabat dan/atau menyinggung karakter atau kehidupan pribadi presiden dan wakil presiden.

Adapun dalam Pasal 219 berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."

Namun dalam Pasal 220 Ayat 1 ditegaskan, pasal penghinaan terhadap presiden bersifat delik aduan. Artinya, presiden atau wakil presiden sendirilah yang harus melaporkan jika dirinya merasa menerima penghinaan.

Pasal 220 Ayat 2, "Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement