Selasa 24 Jan 2023 08:09 WIB

Cerita Santri di Pesantren Ciamis, Khitbah dan Lalu Nikah Massal

Santri di Ciamis menceritakan proses panjang sebelum akhirnya menikah.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Irfan Fitrat
Pengantin menaiki becak untuk diarak keliling jalan desa saat pernikahan massal santri di Pesantren Miftahul Huda 2 Bayasari, Kecamatan Jatinagara, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Senin (23/1/20223).
Foto: Bayu Adji P/Republika
Pengantin menaiki becak untuk diarak keliling jalan desa saat pernikahan massal santri di Pesantren Miftahul Huda 2 Bayasari, Kecamatan Jatinagara, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Senin (23/1/20223).

REPUBLIKA.CO.ID, CIAMIS — Video sejumlah santri di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, mengikuti khitbah sempat viral di media sosial. Diketahui kegiatan itu dilakukan di Pondok Pesantren Miftahul Huda 2 Bayasari, Kecamatan Jatinagara, Kabupaten Ciamis.

Pada Senin (23/1/2023), sejumlah santri senior di pesantren tersebut akhirnya menikah. Ada sepuluh pasangan santri yang menikah secara bersamaan. Salah satunya Usman (26 tahun) dan Euis Lili (25). Menurut Usman, butuh waktu sekitar satu tahun hingga ia bisa menikah dengan Euis.

Baca Juga

Usman menjelaskan, awalnya para guru di pesantren tempatnya menimba ilmu itu mencari gambaran pasangan para santri, termasuk dirinya. Setelah itu, sejumlah santri laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dijodohkan. Dalam perjodohan itu, para guru mendatangkan keluarga dari kedua belah pihak. “Tidak ada ujug-ujug. Prosesnya lama. Kalau yang ramai di medsos (media sosial) kemarin itu hanya gimik. Buat seru-seruan. Mana mungkin ulama di sini menjodohkan santrinya pakai kocokan?” kata dia.

Usman mengaku sudah lama kenal dengan Euis. Tapi sekadar kenal, jarang berinteraksi. Setelah dijodohkan, baru ia mulai mendekatkan diri dengan Euis. “Saya merasa sangat terbantu,” kata lelaki asal Majalengka itu.

 

Setelah perjodohan itu, Usman akhirnya menikah dengan Euis. Ia bersyukur bisa mengikuti pernikahan secara massal, antara lain karena biaya yang dikeluarkan untuk menikah lebih irit. “Saya tidak tahu seperti apa harus berterima kasih atas jasa guru sampai sekarang. Istilahnya tak keluar biaya banyak, tapi acara meriah. Itu kan saking sayang guru sama kami,” kata Usman, yang sudah mondok di Pesantren Miftahul Huda 2 Bayasari sejak 2009 itu.

Usai menikah, Usman dan Euis berencana mengabdikan diri di sebuah madrasah kawasan Cikarang, Jawa Barat. Pasalnya, sudah sekitar sepuluh bulan terakhir Usman ditugaskan gurunya untuk mengajar di tempat itu.

Santri lainnya yang mengikuti pernikahan massal, Ramdan Saputra (27), merasa dirinya berjodoh dengan Ina Adawiyah (25), yang kini menjadi istrinya. “Dewan guru itu menyatukan kami melalui proses panjang. Itu melalui istikharah dan itu tidak hanya kepada satu ulama, tapi dua atau tiga ulama yang diminta pendapatnya. Alhamdulillah, kami bisa dipersatukan,” kata lelaki asal Bandung itu.

Meski sebelumnya tak kenal dengan Ina, Ramdan mengaku sama sekali tidak merasa dipaksa. Justru ia bersyukur bisa dipersatukan dengan perempuan yang kini menjadi istrinya itu. “Setelah ini, seperti yang menjadi visi misi pesantren, kami akan syiarkan agama Allah, melanjutkan perjuangan dewan guru. Kami rencana akan lanjutkan dakwah di Desa Buniseuri, Cipaku, Ciamis," kata lelaki yang telah mondok di pesantren sejak 2008 itu.

Pimpinan Pesantren Miftahul Huda 2 Bayasari, KH Nonop Hanafi, menjelaskan, pernikahan massal di pesantrennya ini tak ujug-ujug dilakukan. Sebelum pernikahan, para santri itu melalui proses panjang yang tidak banyak diketahui orang. “Mereka beberapa ada yang sudah cinta monyet. Kalau di pesantren kan tak ada pacaran. Namun, kalau rasa cinta, pasti ada,” ujar dia, Senin.

Meski saling cinta, para santri di lingkungan pesantren itu umumnya tak berani mengambil keputusan untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Pasalnya, para santri terbiasa mengikuti arahan guru mereka, yang menikahkan santri bukan hanya karena cinta, tapi juga untuk keberlangsungan dakwah setelah menikah.

Ada juga santri laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, tapi belum mempunyai pasangan. Untuk itu, para kiai melakukan musyawarah dan menjodohkan para santri itu. Kemudian dilakukan istikharah bersama keluarga santri dan ulama. “Jadi, tidak ujug-ujug seperti proses khitbah (perjodohan/peminangan), ada kocokan (yang sebelumnya viral di media sosial). Itu hanya gimik untuk mencairkan suasana khitbah,” ujar Kiai Nonop.

Untuk biaya pernikahan santri, Kiai Nonop mengatakan, tidak semuanya dibebankan kepada orang tua mereka. Pasalnya, tak semua santri berasal dari keluarga mampu. Beberapa bahkan ada yang yatim piatu. Karenanya, orang tua dapat mengeluarkan biaya pernikahan sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Tujuan pernikahan massal disebut pada dasarnya untuk efektivitas waktu dan efisiensi biaya. Apabila pernikahan dilaksanakan di tempat masing-masing dan mandiri, waktu para kiai untuk datang terbatas dan biaya untuk pernikahan pun kemungkinan lebih besar.

“Kalau melihat anggaran, semua besar. Untuk pelaminan saja bisa Rp 150 juta. Mas kawin diratakan 25 gram per pasangan. Namun, pesantren tidak membebani, orang tua memberi semampunya. Kami selalu punya keyakinan, ketika berusaha syiar Islam, maka Allah akan membantu,” ujar Kiai Nonop. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement